Rabu, 17 September 2014

Nisa



Selasa, 16 September 2014
at kos baruku


 Prolog

Apapun yang Aku inginkan harus tepat dan cepat aku dapatkan. Aku sangat dominan, otoriter dan keras kepala. Aku sekarang kuliah dan duduk di semester dua. Sampai lupa, Aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Nisa, mataku bulat dan hitam penuh. senyumku menawan, berambut lurus panjang, berkulit putih bersih.



Sketsa wajah Nisa


Aku merupakan anak tunggal dari keluarga berkecukupan. Orang tuaku pengusaha Batik dan mereka sangatlah sibuk. Mereka terbiasa memanjakanku dengan barang-barang mewah dari luar negeri, karena sering melakukan pameran dan seminar tentang Batik khas Nusantara. Walaupun mereka memanjakanku dalam segi materi, tetapi mereka tidak pernah mengingat hari ulang tahunku. Memang terdengar aneh. Pernah ulang tahunku dirayakan, tetapi itu berkat usulan Tanteku Diana yang justru mengingat hari ulang tahunku, perhatian Tante Diana tidak lain dan tidak bukan karena Beliau tidak mempunyai anak dari perkawinannya dengan Om Wisnu, namun begitu hubungan rumah tangga mereka baik-baik saja. Orang tuaku sendiri sibuk menghandle bisnis keluarga yang telah diwariskan Kakek buyutku. Perhatian mereka selalu tertuju pada kemajuan bisnis industri Batik yang puluhan tahun digeluti. Terlebih Batik sekarang semakin digemari di kancah Internasional. Oh iya, Aku berasal dari Kota Solo, namun sekarang Aku melanjutkan kuliah di Jakarta, di sana aku ngekos agar bisa mandiri dan mampu mengurangi sifat manjaku.


Kos Nisa


'Nis, Nisa, Kamu mau makan apa? Ayo cari makan bareng atau kamu mau nitip saja sama Aku? Pumpung Aku mau keluar nih sama Anggie. Kita juga mau mampir minimarket nanti', seru Desi dari balik pintu kamarku.

'Enggaklah Des, Aku hari ini mau makan di Cafe saja. Lagi pula, kalian pasti makan penyet malam ini. Dan kamu tahu kan, Aku alergi dengan penyetan yang serba minyak itu, belum tentu makanan tersebut higienis dan cocok di dalam perutku ini', jawabku sekenanya.

'Okelah Nis, Aku tahu kok. Iya sudah kalau begitu. Aku keluar dulu ya, pintu gerbang tidak aku kunci', ucap Desi sambil menuju kamar Anggie yang berada di lantai bawah.

'Iya Des, jawabku sekenanya', sambil BBM-an.

Setengah jam ber BBM ria dengan Mega dan Galuh sahabatku, yang ternyata menolak ajakan makan malam denganku, mereka menolak ajakanku karena mereka asik pacaran, tepatnya double date. Tak lama Aku meluncur ke Cafe favoritku yang biasa Aku sambangi saban harinya di Jalan Kemang. Setelah memarkir motor matic-ku, Aku memesan meja no 9 yang menjadi tempat favoritku sampai pelayan Cafe hafal sebelum Aku sempat memesannya. Sambil berjalan perlahan-lahan menuju tempat favoritku itu, Kak Eros tiba-tiba menyapaku dari meja sebelah.


'Hai Nis, sendiri saja', sapa Kak Eros ramah sembari tersenyum.

'Eh, Kak Eros. Ngagetin Nisa saja. Iya nih Kak, Nisa sendirian', jawabku.

'Lah dua sahabatmu, si Mega dan si Galuh kemana? Biasanya kalian runtang-runtung bertiga, lebih-lebih di Cafe favoritmu ini', tanya Kak Eros yang sedikit *kepo hari ini.

'Mega sama Galuh lagi nonton sama pacarnya, ada gala premier malam ini', jawabku sambil duduk berhadapan dengan Kak Eros.

'Lah Kamu ndak diajak apa ?! Kan mereka sahabat Kamu', tanya Kak Eros.

'Kakak nyindir apa tanya hayo ?! Kakak kan tahu, kalau Nisa seumur2 belum pernah pacaran', jawabku mulai bersungut-sungut manyun kaya bebek.

'Iya maaf, kirain status jomblo abadi Kamu udah lepas sejak dekat sama Yuda', ledek Kak Eros sambil cengengesan melihat ekspresi lucuku.

'Idih', gerutuku lagi.

'Iya udah, daripada bete berkepanjangan. Gimana kalau malam ini, Kakak temenin Kamu makan malam, Aku gak tega liat Kamu makan sendiri, hahahaha' ledek Kak Eros sambil menatap wajahku dalam-dalam sambil nyengir kuda.

'Oke deh, terserah Kakak saja', jawabku sekenanya namun hatiku berbunga-bunga.


Sambil membolak-balikkan menu di atas meja. Pilihan makananku malam ini jatuh pada sop buntut dan jus Strawberi menu andalan Cafe ini, sedangkan Kak Eros cuma memesan soft drink dan kentang goreng.







Mungkin sebelum nangkring ke Cafe ini, Kak Eros sudah makan dulu di rumahnya. Sepuluh menit kemudian pesanan kami pun diantar dan kami langsung memakannya. Kami saling berbincang membicarakan kuliah perdana, karena sudah dua bulan kampus libur semester. Kak Eros adalah kakak kelasku di SMA dulu, tubuhnya tinggi dan kekar mungkin karena dia sering fitnes dan rajin renang, rambutnya rada kriting, alisnya tebal, tajir, senyumnya manis sekali dijamin para wanita klepek-klepek dibuatnya, dulu dia pernah menyatakan perasan cintanya kepadaku, aku pun sempat menyukainya tetapi karena kata mama dan papa aku harus fokus sekolah dulu, namun mama dan papaku tahu betul latar belakang keluarga Kak Eros yang terpandang dan selevel dengan keluargaku, dengan pertimbangan itu akhirnya, aku pun menolak ajakan kak Eros untuk berpacaran. Walaupun Kak Eros pernah aku tolak cintanya, tetapi perhatiannya padaku tak pernah luntur. Sempat dia berusaha mendekati wanita lain yang satu kelas dengannya setelah patah hati karenaku, ternyata wanita itu hanya mempermainkannya dan hanya memoroti uangnya saja. Tapi sampai sekarang tak ada kebencian di hati Kak Eros terhadap wanita itu, dia hanya menganggap itu akibat dari kekayaan orang tuanya selama ini yang hampir di ketahui seantero kota ini, iya maklum saja ayahnya adalah pengusaha batu bara dan ibunya anggota dewan, hampir sama denganku orang tuanya pun sibuk, Kak Eros pun merupakan anak tunggal, tetapi orang tuanya tak pernah lupa dalam memberikan perhatian dan kasih sayang sepenuhnya kepada Kak Eros. Namun demikian Kak Eros mandiri, dia memulai bisnis berjualan makanan ringan sejak awal kuliah di Jakarta, walau modalnya berasal dari kedua orang tuanya, namun bisnis kecil-kecilan itu sekarang berkembang pesat hingga mampu menggaji 20 karyawan dan mempunyai 5 gerai di beberapa kampus di Kota Jakarta. Kami masih asik berbincang mengenang masa-masa SMA dahulu, tiba-tiba HP ku berdering dan membuat obrolan asikku dengan Kak Eros berhenti mendadak.
  

'Kring, kring, kring' HP ku berbunyi, ternyata Yuda meneleponku. Ntah ada apa Yuda meneleponku malam ini, Dia ingin bertemu denganku, dari nada suaranya dia sedang bersedih dan ingin berkeluh kesah denganku.

'Oke Yuda, setengah jam lagi aku sampai di rumahmu. Kamu tenang saja, aku ke sana sendirian kok, iya Kak Eros nanti pulang kosan. Katanya ada tugas kuliah yang belum kelar', jawabku sambil menutup telpon dari Yuda di seberang sana.

'Kak Eros, maaf iya. Nisa barusan ditelpon Yuda, Dia lagi butuh bantuan, katanya dia mau curhat sama aku, lagi galau gitu deh, tapi ndak tau kenapa', ucapku buru-buru sambil membayar bill makan malamku, kali ini aku yang mentraktir Kak Eros makan malam.

'Eng, iya deh Nis. Kamu hati-hati iya, kalau Yuda macem-macem sama kamu, kamu bisa telpon aku, HP ku 24 jam non stop buat kamu', jawab Kak Eros sambil tersenyum.

'Hehe, iya Kak Eros', jawabku sambil berlalu tanpa berpanjang lebar bicara.


Menuju parkiran, pikiranku masih melayang, mencoba mengingat-ingat apa saja ucapan Yuda kepadaku, yang bilang bahwa Dia akan meninggalkan Indonesia dalam waktu dekat ini, ntah apa yang menyebabkan itu terjadi, tetapi yang harus aku lakukan sekarang harus cepat sampai rumahnya saat ini juga. Ku laju motor matic-ku dengan kecepatan penuh, karena perjalanan menuju rumah Yuda disambut gerimis. Ntah gemiris ini sebuah firasat atau hanya kebetulan semata. Ah, abaikan ! !


'Ting tung' suara bel rumah Yuda yang berkali-kaliku tekan.

'Iya sebentar. Eh, Non Nisa, ayo silahkan masuk', jawab Bik Inah pembantu Yuda dengan suara ramah sambil membuka pintu rumah dan memintaku segera masuk. Beliau adalah pembantu senior di sini, disebut senior karena pasti ada yang Junior, ah sudahlah, kita fokus lagi pada Yuda yang sedari tadi belum ku temukan batang hidungnya.

'Bik, Yuda sekarang di mana? Dia kenapa Bik, kok dari suaranya ditelpon tadi dia sedang sedih', aku mencecar pertanyaan pada Bik Inah.

'Den Yuda Non, Den Yudanya lagi sedih Non, maklum Tuan meminta Den Yuda buat pindah ke Ausy besok pagi, buat nungguin Nyonyah yang lagi berjuang melawan kanker. Sekarang Den Yuda lagi di kamarnya, sedih karena takut dengan kondisi Nyonyah yang sangat mengkhawatirkan', jawab Bik Inah seraya mengusap air matanya yang mulai menetes dan membasahi pipinya.

'Astaghfitulloh, tante Liliana. . Tante Liliana kenapa Bik'?, jeritku.

Sembari berlari, aku pun menuju kamar Yuda yang berada di lantai dua rumahnya, Bik Inah yang menunjukkan letak kamar Yuda kepadaku, walaupun aku dan Yuda sahabat sejak kecil, namun ini kali pertama aku menyambangi kamarnya, maklum dia pria dan aku wanita, kalau berdua di kamar nanti akan menimbulkan fitnah yang berkepanjangan.

'Yuda, Kamu ndak apa-apa kan, apa yang terjadi pada Tante'? , tanyaku sembari memandangi Yuda yang murung.

'Nis, Mamaku keadaanya sangat memprihatinkan, Aku harus selalu memantau keadaannya setiap detik, ini saran Papa kepadaku, barusan Papa telpon dari Ausy. Papa tidak sanggup menunggui Mama sendirian di sana, yang saat ini belum ada perkembangan yang berarti, Mama masih tergolek lemah di rumah sakit', ucap Yuda yang mulai terbata-bata.

'Lalu, apa yang akan kamu lakukan saat ini Yud, apakah aku bisa membantumu'?, tanyaku sambil menggenggam tangan Yuda yang mulai gelisah seraya menenangkan pikirannya yang mulai kacau.

'Nis, kamu cukup menenangkan pikiranku, mendengarkan keluh kesahku saat ini, aku tak mampu membendung kesedihanku saat ini agar aku kuat menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada mamaku, besok pagi aku akan berada di Ausy nyusul Papa dan besok aku berangkat jam 9 pagi dari Jakarta', ucap Yuda sambil sesekali mengusap air matanya yang telah meleleh membasahi pipinya.


Baru pertama ini, aku melihat kesedihan yang mendalam di wajah Yuda, aku mengenal Yuda sejak kecil, Ayahnya dan Papaku adalah sahabat karib, Ayahnya pengusaha Properti dan ibunya adalah Dosen di perguruan tinggi di Jakarta dan mereka semua pun pindah ke Jakarta. Keluarga mereka dahulunya sangat bahagia dan berkecukupan, sampai akhirnya ibunya divonis kanker rahim yang hampir merenggut nyawanya dan harta bendanya pun digunakan untuk pengobatan ibunya hampir 2 tahun ini, beruntung ayahnya segera membawanya berobat ke Ausy, namun di sana penyakit ibunya Yuda dinyatakan memasuki stadium lanjut, jadi kecil kemungkinan akan bisa disembuhkan. Mungkin karena penyakitnya itu, membuat ibunya Yuda kesulitan dalam mengandung. Yuda sendiri adalah anak tunggal, sama seperti denganku dan Kak Eros. Tante Liliana, ibunya Yuda adalah orang keturunan Cina yang kemudian memeluk Islam, sebelum menikah dengan Om Andi, ayah Yuda, Yuda adalah buah hati mereka berdua yang ditunggu-tunggu hampir 3 tahun .

'Nis, kamu kenapa malah bengong. Kamu keberatan jika mendengarkan ceritaku saat ini Nis? Aku benar-benar gelisah dan bingung, aku sangat mencintai mamaku, tapi sekarang mamaku sedang tergolek lemah tak berdaya. Padahal sebelumnya,  mamahku selalu ceria, sehat dan segar bugar. Penyakitnya telah merongrong tubuh mamaku hingga aku sendiri tak tega melihat kondisinya secara langsung, wajah yang pucat, tubuh yang lemas', ucapan Yuda mulai terisak dan membuyarkan lamunanku.

'Yud, maaf iya. Tadi aku memikirkan bagaimana keadaan tante Liliana saat ini. Aku pun sangat khawatir Yud, aku berfikir, bagaimana jika aku ikut kamu terbang ke Ausy, aku ingin melihat keadaan tante Liliana, pasti tante senang melihatku datang ke sana, terlebih papahmu. Pasti Om Andi jadi tak khawatir jika kamu terbang ke Ausy sama aku', pintaku pada Yuda.

'Kamu serius Nis? Kamu gak sedang menghiburku kan'?, tanya Yuda seraya menunggu kepastian tawaranku padanya.

'Iya, aku akan berangkat besok pagi denganmu dan segera memesan tiket pesawat untuk keberangkatan besok pagi. Aku akan bicara sama mama dan papaku saat ini juga, pasti mereka setuju. Karena ortuku dan ortumu adalah sahabat karib, jadi aku nanti pulang kos langsung berkemas-kemas membawa baju dan perlengkapan yang harus aku bawa selama 3 hari di Ausy, tapi maaf iya Yud, aku tidak bisa berlama-lama di sana,' ucapku.

'Nisa, perhatianmu yang luar biasa ini saja sudah membuatku senang, terimakasih iya Nis', ucap Yuda, dengan refleks dia memelukku.

Ada perasaan yang aneh setelah perlakuan Yuda terhadapku. Jantungku berdebar-debar dan kamipun melepas pelukan dengan perasaan canggung dan malu.

'Eh, sori Nis. Saking girangnya aku sampai tak sengaja memelukmu. Tolong maafkan aku iya Nis', ucap Yuda seraya meminta maaf padaku.

'E. .iya Yud, aku juga minta minta maaf', jawabku.


Setelah kejadian itu aku pun bergegas pamitan pulang. Tak lupa aku berpamitan pada Bik Inah yang sedari tadi menungguku di lantai bawah.


Yuda sudah tak sesedih tadi saat meneleponku, sekarang wajahnya justru kemerah-merahan menahan malu atas perlakuannya tadi terhadapku. Jam di tanganku menunjukkan pukul 10 malam, tapi untunglah kosan belum terkunci karena masih ada beberapa teman kosku yang masih sibuk menonton TV dan sebagian lagi masih sibuk ngobrol di teras.


Aku pun segera menuju lantai 2 kamarku sambil merebahkan tubuhku yang mulai lelah, tak lupa aku memasang alarm jamku di angka setengah 5 pagi agar aku tak terlambat menyiapkan segala kebutuhanku selama di Ausy.


Pagi pun tiba, aku bergegas mandi dan menyiapkan perlengkapan yang benar-benar aku butuhkan. Jam 8 pagi, Yuda menjemputku dengan supirnya. Tak lama, kami pun menuju Bandara. Setelah beberapa jam mengudara akhirnya Pesawatpun mendarat. Di sana, kami dijemput supir suruhannya Om Andi dan kami diantar sampai rumah sakit. Di depan rumah sakit, Om Andi sudah siap menyambut kami dengan hangat walau dengan wajah yang sedih. Suasana haru terlihat di sana, Kami mulai bersalaman saling berpelukan dan bergegas ke ruangan di mana Tante Liliana di rawat. Sesampainya di depan ruangan, terlihat tante Liliana sedang terlelap tidur. Karena takut mengganggu istirahatnya, kamipun sepakat menuju Cafetaria rumah sakit untuk mengobrol sejenak dan minum kopi, sesekali Yuda dan aku menceritakan perjalanan kami dari Jakarta menuju Ausy. Akupun mulai bertanya sejauh mana perkembangan tante Liliana, namun Om Andi tak kuasa menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Hanya ucapan baik-baik saja dan minta doa yang terlontar dari mulut Om Andi. Melihat ekspresi sedih Om Andi aku pun tak kuasa untuk bertanya lebih lanjut lagi dan aku pun hanya diam menghela nafas. Melihat kesedihanku itu, sesekali Om Andi gantian menanyakan kabar orang tuaku dan bertanya tentang bisnis orang tuaku yang semakin bersinar. Satu jam berbincang, kami bertigapun menuju ruangan Tante Liliana dan berharapa beliau telah bangun.  


Sesampainya di sana benar saja, tante Liliana sudah bangun dan melihat wajah kami dengan seksama satu per satu. Ada haru dan tangis di sana, namun kami semua terlihat tegar agar tante Liliana tidak sedih dan sejenak melupakan keadaan yang sebenarnya. Tante Liliana tersenyum, memeluk Yuda dan kemudian memelukku sembari mendekatiku dan berbisik padaku.


'Nisa, terimakasih banyak iya sudah mengantarkan Yuda sampai kemari. Aku harap Yuda berterus terang kepadamu secepatnya, agar dia tidak menyesal karena telah menunggumu lama, Kamu memang anak yang baik Nis, Yuda memang sering bercerita tentangmu, namun sejak tante sakit dan terbaring lemah di sini dia jarang bercerita tentangmu lagi, tapi sekarang Yuda justru memberikan kejutan istimewa dengan membawamu ke mari', ucap tante Liliana sambil tersenyum dan memelukku lagi.


Aku pun tak mengetahui apa maksud ucapan tante Liliana barusan yang jelas aku gembira bahwa tante benar-benar tegar, tidak bersedih dan tak mau terlihat lemah di depan orang lain.

'Tante, Nisa ndak tau maksud tante apa, oh iya dapat salam dari mama dan papa Nisa, mereka minta maaf belum bisa jenguk tante di sini, mungkin lusa setelah mereka selesai tur dalam rangka pameran budaya Nusantara', ucapku. Tante Liliana hanya mengangguk dan tersenyum.

'Tante sudah makan apa belum? Kalau belum, biar Nisa yang nyuapin tante, habis itu minum obat iya', rayuku.


Ntah mengapa tante Liliana mau aku suapin, makannya jadi lahap dan raut wajahnya berseri-seri tak mau menampakkan rasa sakit dari penyakit yang dideritanya selama ini. Mungkin kedatangan Yudalah yang membuat tante Liliana semangat untuk sembuh. Setelah makan, tante Liliana pun bertanya tentang kuliahku sekarang, panjang lebar aku menceritakan hari-hariku selama kuliah dan kegiatanku selama liburan. Yuda pun demikian, dia menceritakan keadaannya selama sendirian di Jakarta tanpa orangtuanya. Sesekali kami terdengar tertawa bersama-sama saat tante Liliana menceritakan masa kecil Yuda yang lucu dan menggemaskan, yuda pun malu melihat kebiasannya saat kecil yang masih terbawa saat ini yaitu takut gelap dan sesekali meminta mamanya untuk menemaninya tidur saat lampu mati.


Jam dinding menunjujjan pukul 11 malam, dan tante Liliana bergegas untuk tidur. Aku dan Yuda gantian menjaga di rumah sakit dan Om Andi kali ini bisa tidur di hotel di seberang rumah sakit. Sesaat setelah tante Liliana terlelap tidur. Tiba-tiba Yuda menghampiriku dan berbicara kepadaku.

'Nis, ndak salah aku mengenalmu selama ini dan mau menerima tawaranmu untuk bersama-sama ke sini, mamaku makannya jadi lahap banget, padahal kata papa, mama beberapa hari ini sulit banget makan dan minum obatnya. Ntah mengapa sejak kedatangmu tadi mamaku dengan semangat mau minum obat dan makan. Terimakasih iya Nis, kamu memang is the best deh', puji Yuda sambil tersenyum malu.

'Yuda, mamamu lahap makannya karena ada kamu dan Om Andi di sini. Bukan karena kedatanganku, kalian adalah semangat hidup buat Tante Liliana', jawabku.

'Kamu selalu baik dan menyenangkan Nis, tak heran jika mamaku sangat menyukaimu sejak kamu kanak-kanak,' ucap Yuda polos.

'Apa Yud, sejak kanak-kanak ?! Maksudnya ?, tanyaku.

'Ndak apa-apa kok Nis, udah malam cepetan tidur. kamu tidur di kursi iya, biar aku yang tidur di lantai. Aku selimutin kamu dulu, biar tidak kedinginan', ucap Yuda sambil menyelimutiku. Kamipun tidur.


Pagi pun menjelang dan aktifitas dimulai lagi, tak terasa tiga hari aku di Ausy dan aku pun bergegas pulang ke Indonesia. namun kali ini bukan aku saja yang pulang, tetapi Yuda, Tante Liliana dan Om Andy juga ikut pulang ke Indonesia. Ajaib, sejak kedatanganku menjenguk tante Liliana, kondisi tante semakin membaik dan kemungkinan bisa sembuh. Semangatnya untuk sembuh dan berkumpul bersama-sama di Indonesi yang mendorong kesembuihan tante Liliana. kami pun terbang ke jakarta.



(To be continue)